Yang tersisa bagi kami hanyalah kenangan-kenangan yang menentramkan hati. Namun Engkau Maha Penyayang, karena bahkan hanya dengan kenangan itu kami masih bisa mengambil pelajaran. Sungguh benar firman-Mu, bahwa sesungguhnya orang-orang beriman itu tidaklah mati. Jejak-jejaknya masih menebarkan pelajaran bagi siapa saja yang mau membuka dada untuk menyerap ilmu-Mu. Ruh-ruh para pembawa cahaya, para wali Allah, tidaklah berhenti menghantarkan cahaya kepada siapa saja yang mau dan berusaha menempuh jalan yang telah disampaikan oleh-Mu melalui penghulu segala makhluk, al-Musthofa, Kanjeng Rasulullaah SAW. Kini izinkan kami, Ya Allah, berbagi pelajaran dari perikehidupan salah seorang sahabat-Mu, Kyai Asrori al-Utsmani, yang telah kau panggil kembali beberapa waktu yang lampau.
Kyai Asrori al-Ishaqi, generasi ke-38 dalam garis keturunan Rasulullaah Muhammad SAW, telah lama mengemban amanah mengayomi dan mempersatukan umat Islam melalui Tarekat yang dianutnya, Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah al-Utsmaniyyah – yang dinisbahkan kepada Kyai Utsman al-Ishaqi r.a. Nama al-Ishaqi dinisbahkan kepada Maulana Ishaq, ayahanda Sunan Giri. Jadi dalam garis keturunannya yang mulia ini, Syekh Asrori masih keturunan Sunan Giri.: Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Sebagaimana lazimnya putra kyai besar, Kyai Asrori sejak muda rajin menimba ilmu pengetahuan, mengembara dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren lainnya. Namun konon masa beliau mondok selalu sebentar. Kabarnya beliau pernah nyantri di Darul Ulum, Rejoso, Jombang, namun hanya setahun. Demikian pula saat nyantri di Pondok Pare Kediri dan Pondok Bendo.
Yang menarik, ketika mondok di Pondok Rejoso Jombang, Kiai Asrori tak aktif mengikuti ngaji. Namun itu tak membuat risau KH Mustain Ramli, pimpinan Pondok Rejoso. “Biarkan saja, anak macan kan akhirnya jadi macan juga,” kata Kiai Mustain Ramli. Karena kepintarannya yang luar biasa, terutama di bidang ilmu agama, di kalangan kiai dan santri pondok, Kiai Asrori dinilai memiliki ilmu laduni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Dia memperoleh ilmu itu tanpa melalui proses belajar-mengajar yang wajar sebagaimana dijalani santri pondok pada umumnya.
Selama menimba ilmu di Pondok Rejoso itu, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum Al-Din karya Imam Al Ghazali dengan sangat baik. “Kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya,” demikian ujar KH Utsman Al-Ishaqi.
Saat masih muda kabarnya Kiai Asrori badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Hingga kini, murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan. Dengan kata lain, banyak orang mengakui bahwa Kyai Asrori tergolong ulama yang langka dalam hal kapasitas keilmuan dan spiritualnya.
Di kemudian hari, makin banyaknya murid mengundang kekhawatiran beliau karena menyulitkan pemantauan. Beberapa murid senior mengusulkan dibentuknya semacam wadah untuk “menyatukan” jamaah. Maka pada Desember 2005 diresmikanlah “Jama’ah al-Khidmah” yang tujuan dasarnya adalah untuk pembinaan jamaah agar lebih tertib dan terarah.
Hingga akhir hayatnya, TQN al-Utsmaniyyah telah berkembang pesat hampir di seluruh pulau Jawa, dan bahkan hingga ke manca negara. Beliau telah mewariskan teladan ruhani yang sudah selayaknya kita ikuti, sesuai dengan kemampuan kita. Kini ulama yang langka itu telah kembali ke Sang Kekasih, namun bukan berarti hubungan ruhani dengan jamaahnya telah terputus. Ruh-ruh para Wali Allah akan selalu hadir bersama orang-rang yang senantiasa berkhidmat kepada mereka, yang selalu mengikuti jejak ruhani mereka sesuai dengan yang digariskan oleh Kanjeng Rasulullaah SAW.
Seperti Wali Allah lainnya, beliau telah menjadi semacam “Jalan,” bukan lagi pejalan. Beliau menjadi “wadah” yang dilalui oleh “sesuatu,” bukan lagi pejalan yang menuruti kemauannya sendiri. Beliau barangkali salah satu contoh dari sedikit orang yang mampu merealisasikan hadits qudsi yang menyatakan “Allah telah menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, pendengarannya yang dengannya ia mendengar, tangannya yang dengannya ia memegang dan kakinya yang dengannya ia melangkah…” Beliau memang tak lagi bersama kita secara fisik, namun ingatlah nasihat Maulana Rumi ini:
“Jangan bersedih, wali Allah tak kan hilang dari dirimu, sebab semesta telah sirna dalam dirinya” … Dunia memang berada dalam genggamannya, namun tak pernah menguasai hatinya, sebab hatinya telah menjadi tahta Tuhannya. Hanya mereka yang mampu berzikir dalam setiap detak jantungnyalah yang dianugerahi martabat yang mulia ini…
Ila hadlarati as-Syekh Kyai Asrori al-Utsmani.. al-Fatihah.